Monday, 9 November 2015
Home »
» Sejarah PO Artha Jaya
Sejarah PO Artha Jaya
Sejarah PO Artha Jaya
Awal tahun 80-an jalur Kudus-Jakarta masih kategori sepi. Bukan karena sepi penumpang, – karena waktu itu sudah banyak warga yang merantau ke ibukota – tapi sepi armada. Justru yang ramai adalah jalur jarak jauh, Jakarta-Surabaya atau Jakarta-Malang. Imbasnya, calon penumpang harus “lari” ke Semarang, bila hendak ke Jakarta, karena jumlah bus sangatlah terbatas. Begitu pun sebaliknya.
Pelan tapi pasti, peluang ini diendus oleh salah seorang pengusaha dari Lasem, bernama Bing Soenarso. Pengusaha etnis Tiongha ini mendirikan PO yang dilabeli nama Artha Jaya, yang artinya uang (dikonotasikan rejeki) yang akan terus berjaya. Membuka bus malam dengan trayek Lasem-Jakarta dan Cepu-Jakarta. Bekal Om Bing sendiri adalah modal pengalaman mengelola bisnis transportasi angkutan ekspedisi barang.
Awalnya, Artha Jaya hanya menyediakan bis malam non AC, dengan mesin Mercedes Benz mesin depan (seri OF) berkaroseri Morodadi. Namun, penyediaan armada seperti ini kurang mendapat respon positif dari pasar, karena aspek sosio-cultural masyarakat Jawa Tengah bagian timur yang maunya kelihatan begaya saat pulang kampung atau balik ke Jakarta, termasuk pula dalam urusan armada yang akan dinaikinya.
Akhirnya, era mesin depan diakhiri dan digantikan mesin belakang (OH Prima), dilengkapi pendingin udara dan toilet, serta urusan karoseri tetap mempercayakan pihak Morodadi. Livery-nya pun masih gampang diingat sampai sekarang, berupa garis-garis tegas berwarna coklat tua dikombinasikan coklat muda, dengan background warna aurora white. Logo Artha Jaya mirip logo maskapai penerbangan Singapura, SIA.
Inilah era dimulainya bus malam Kudus-an bermesin belakang, produk Eropa dengan fasilitas AC dan toilet, dengan busana dari karoseri berkelas dan corak body mesti goodlooking.
Dulu, soal attitude, driver-driver Artha Jaya tak kalah pamor bila head to head dengan penguasa jalur Jakarta-Surabaya, PO Lorena. Mereka berani adu kencang, bahkan meladeni setiap aksi penuh kecepatan PO yang melegenda tersebut. Toh, soal mesin dan karoseri tak kalah. Hasilnya, selalu tiba di tempat sebelum matahari terbit, baik saat di Jakarta atau di Rembang. Bahkan kabarnya Artha Jaya cukup disegani di jalan, sebagai raja kecil dari Lasem. Style driver yang suka ngebut pun tak lepas dari “kompor meleduk” para penumpang, yang tak ingin busnnya kalah bersaing dengan bus jarak jauh.
Inilah poin kedua, yang meninggalkan warisan bagi sopir-sopir generasi berikutnya bahwa bus Kudus-an kudu banter dan siap untuk adu kebolehan keterampilan di jalan raya.
PO Artha Jaya adalah PO yang terbaik dalam menjunjung service kepada penumpang. Selain perlengkapan armada berupa bantal dan selimut tebal, diberikan juga snack saat perjalanan. Layanan makan malamnya juga bagus, nikmat dan lengkap. Dan rumah makannya tetap lestari hingga sekarang, dan dipakai sampai saat ini oleh Tri Sumber Urip, yakni RM Kota Sari, Gringsing. Bahkan saat PO Artha Jaya berulang tahun, pada hari H diadakan acara kecil-kecilan, penumpang diberikan jamuan makan “cuma-cuma” dan diseling pembagian doorprize. Mirip acara ultah Nusantara ke-40 di RM Sari Rasa yang saya hadiri dua tahun silam.
Jaringan agennya hingga ke Kota Cepu dan Blora, dengan disediakan kendaraan feeder, mikro bus, yang akan menjemput dan mengantar penumpang. Penumpang cukup terbantu, apalagi saat itu masih jarang angkutan yang beroperasi di jalur Rembang-Blora-Cepu.
Inilah karakter virus ketiga yang akhirnya menjadi standar pelayanan minimal yang selanjutnya dianut PO-PO Muriaan Raya yang eksis sekarang. Ada satu torehan sejarah bagi perkembangan dunia per-bis-an Indonesia yang dilukis Kota Lasem, karena kota inilah rintisan awal kejayaan PO-PO yang bertrayek ke kota-kota pantura timur Jawa Tengah, meliputi Kudus, Jepara, Pati, Rembang dan Blora.
Sejarah patut berterima kasih kepada PO Artha Jaya yang membabat alas membuka jalur pantura timur dengan merintis trayek Lasem-Jakarta disusul trayek Cepu-Jakarta di akhir tahun 70-an .
Sayang, kejayaan PO Artha Jaya runtuh di akhir tahun 90-an.Meski masih ada armada yang bernama PO Artha Jaya, yang semakin langka dan jarang terlihat Bukan karena missmanagement (konflik internal) dan ditinggal pelanggannya, namun tiada generasi penerus Om Bing yang mau melanjutkan usaha PO-nya, di saat Om Bing ingin pensiun menikmati hari tuanya. At last, PO Artha Jaya dijual /berganti kepemilikan serta manajemen kepada Tri Sumber Urip, yang ownernya masih punya hubungan saudara dengan Om Bing semenjak pertengahan tahun 2006. .
Namun, berkat kesuksesannya, Om Bing (panggilan akrabnya) berhasil menyekolahkan ketiga anaknya di perguruan tinggi di luar negeri. Dan setelah lulus, ketiganya memutuskan tinggal di luar negeri. Sekarang ini, “hanya” bisnis ekspedisi dan bengkel sparepart yang masih dijalankan.
0 comments:
Post a Comment